Latest Updates

PhD in Life


Sore hari itu, saat saya berpamitan dengan teman-teman di lab kampus, ada rasa yang berbeda tertinggal.  Sepuluh menit yang lalu, saya baru saja usai melakukan gladi resik untuk presentasi final dalam rangka kandidatur PhD saya di depan supervisor dan juga teman-teman saya satu lab. Presentasi berjalan cukup lancar meskipun menurut saya sebetulnya kualitasnya bisa lebih ditingkatkan lagi.  Saya juga mendapatkan banyak pertanyaan dan masukan yang konstruktif dari mereka yang hadir menonton gladi resik saya.

Minggu depan adalah hari penentuan, di mana saya akan berhadapan dengan board of panel dan mahasiswa PhD lain di School of Psychology universitas saya, mempresentasikan hasil penelitian yang telah saya jalani selama tiga tahun ini.

Saya melirik jam dinding di lab, pukul empat sore -dua jam lebih awal dari waktu biasa saya pulang. Saya beranjak dari tempat duduk menuju pintu lab. Saya tarik gagang pintu, melangkahkah satu kaki keluar, dan menoleh ke belakang. Rekan-rekan saya menatap saya dengan perasaan yang sukar untuk dilukiskan: ada rasa iba, kasihan, dan terharu. Satu kalimat terucap dari salah satu rekan lab saya, “Enjoy your day.”

Saya tersenyum geli. Biasanya mereka mengucapkan kata-kata standar, seperti “See you tomorrow” atau yang lainnya. Saya tahu mereka berusaha menyemangati saya dengan pekerjaan yang baru saya tekuni seminggu belakangan ini. A toilet guy.

“Hei, for all it’s worth, I am doing PhD …..in life,” ujar saya mencairkan suasana, dan teman-teman yang tadinya salah tingkah akhirnya tersenyum.


Kami telah banyak berdiskusi sebelumnya tentang betapa unik tantangan hidup saya karena selain berkutat dengan PhD -yang menurut versi mereka membutuhkan komitmen penuh-, saya masih harus dibebani dengan kerja sampingan, sebagai seorang cleaner pula. Bahwa seharusnya jalan hidup saya tidak mengenaskan seperti ini, harus banting tulang di sela-sela kesibukan saya belajar. Mereka berpendapat bahwa seharusnya ada suatu sistem yang menyokong kehidupan para calon ilmuwan ini agar mereka bisa lebih fokus dalam kegiatan penelitian -atau hal-hal lain yang yang lebih mengedepankan fungsi kognitif.

Well, life is not always what we want it to be.

Jika direnungkan lagi, apa yang salah dengan menjadi cleaner ketika kebetulan Anda juga adalah seorang mahasiswa PhD? Memang benar bahwa mahasiswa PhD adalah salah satu posisi terhormat. Jika Anda bertemu orang di jalan, dan mereka bertanya apa yang Anda lakukan, lalu Anda menjawab sedang menekuni PhD, mereka umumnya akan menganggap Anda cerdas. Apalagi jika Anda tengah menekuni PhD di bidang-bidang yang rumit, misalnya: nanoteknologi, dll, maka orang akan semakin angkat topi.

Tapi sesungguhnya menurut saya, tidak ada yang salah dengan menjadi cleaner. Hanya karena mereka membersihkan kotoran yang orang lain hasilkan, tidak menjadikan mereka lebih rendah derajatnya daripada orang lain. Jika tukang sampah di kompleks perumahan Anda cuti selama sebulan, maka bisa dipastikan Anda akan sangat merindukan dan berharap mereka kembali. Jika Anda menganggap derajat mereka lebih rendah daripada Anda, bagaimana bisa Anda  membutuhkan tukang sampah Anda, lebih daripada tukang sampah membutuhkan Anda?

Sesungguhnya, di Sydney paling tidak, orang lokal sangat menghargai pekerjaan cleaner. Tidak semua orang tahan melakukannya, dengan baik dan sangat komitmen maksud saya. Setiap kali saya menyelesaikan tugas saya, orang di sini selalu berterima kasih. Orang di sini juga hampir selalu menyapa kami dan menanyakan bagaimana kabar kami. Cleaner adalah suatu bentuk profesi, sama dengan pekerja kantoran, atau bahkan selebritis. Sama-sama memiliki ukuran kinerja dan tanggung jawab masing-masing. Perbedaan yang kita hadapi di jenis-jenis pekerjaan tidak menjadikan kita, sebagai manusia, lantas diperlakukan berbeda.

Ironisnya, bagaimana dengan mahasiswa PhD? Saya sering mendapatkan para mahasiswa PhD yang terhormat itu “memilih” untuk tidak menunaikan tuntutan akademik sehingga pada akhirnya harus memohon kebaikan hati dosen pembimbing untuk meluluskannya. Jika Anda seorang cleaner, dan memohon kebaikan hati supervisor untuk tidak melakukan tugas dengan baik, maka bisa dipastikan Anda dipecat saat itu juga.

Jadi mengapa pula kita memandang sebelah mata pada profesi seperti ini, jika kita sendiri menutup mata dengan ketidaksempurnaan yang selama ini kita perbuat?

Bagi saya menjadi cleaner adalah suatu pekerjaan yang saya pilih setelah melalui berkali-kali pemikiran dan proses pengambilan keputusan. Salah satunya adalah karena pilihan waktunya yang tidak bakal mengganggu kesibukan kuliah saya, karena biasanya jam kerja saya sore hingga menjelang tengah malam. Kebutuhan hidup yang tinggi di Sydney, menghendaki saya dan istri untuk berjibaku bertahan hidup. Selama halal dan tidak merugikan orang lain, juga memberikan keuntungan secara finansial bagi kami sekeluarga serta tidak mengganggu hal utama yang menjadi alasan saya dikirim ke sini, saya enggan pilih-pilih pekerjaan.

Bagi saya, toh, bekerja sebagai cleaner ini merupakan tantangan hidup yang harus saya lewati dalam rangka pencapaian gelar PhD (atau Doctor of Philosophy) in Cognitive Neuroscience. Dulu saya merasa bahwa PhD ini hanya satu tingkatan lebih tinggi ketimbang studi master. Namun ternyata saya salah besar. Karakteristik studi PhD ini tidak sekedar menuntut kami handal dari sisi akademik saja, namun juga sikap mental. Bagaimana kita melalui rintangan demi rintangan dengan hati lapang dan kepala dingin. Tingkat uncertainty yang tinggi dari studi PhD, ditambah lagi karakteristik belajar yang cenderung independent-learning, membuat para mahasiswa PhD dituntut untuk mendapatkan keterampilan akademik yang dibutuhkan dengan usaha mereka sendiri. Hal ini tidak mudah, seringnya menimbulkan depresi.

Bagaimana cara mereka bertahan dan juga berjuang untuk mendapatkan hasil adalah alasan mengapa mereka berhak menyandang gelar Doctor of Philosophy. Saya sulit membayangkan ada lulusan PhD yang pintar, namun tanpa disertai perubahan mentalitas, karena sesungguhnya keseluruhan proses kandidatur PhD ini diarahkan untuk mendidik mentalitas yang handal.

Life is not always what we want it to be. Setiap orang memiliki tantangan tersendiri dalam hidupnya. Kita mengambil keputusan sendiri, dan harapannya bisa mengambil buah pembelajaran dari proses tersebut. Sama halnya dengan studi PhD, saya merasakan banyak belajar dari profesi saya menjadi seorang cleaner. Sehingga pada akhirnya saya merasa bahwa keseluruhan rangkaian tantangan dalam hidup saya yang menggiring saya pada esensi Doctor of Philosophy yang sebenarnya, yaitu: PhD in Life

PhD in Life adalah jenis keilmuan yang sangat rumit -karena tidak ada panduan resmi, tidak ada rumus, bahkan kurikulum. Sama halnya dengan studi PhD konvensional, bahkan lebih rumit lagi, karena bidang ilmu ini memiliki tingkat uncertainty yang tinggi. Bahkan lebih mengerikan lagi, karena standar kelulusannya tidak jelas, jarang ada feedback, dan nyaris tanpa dosen pembimbing.

Di instansi di mana saya menimba PhD in Life ini, saya belajar tentang esensi sebuah kehidupan melalui suatu proses pengalaman dan refleksi. Sama halnya dengan ketika saya mencermati grafik di PhD saya yang satunya, dan mencoba mengartikan apa yang sebenarnya tengah terjadi. Sama-sama membutuhkan proses kognitif yang tinggi -namun tentu saja jika kita memilih melakukannya demikian. Kita bisa saja menekuni PhD, yang mana saja, dengan masa bodoh, dan jika beruntung kita lulus. Dengan demikian kita akan menjadi lulusan PhD yang hanya pintar tanpa dibarengi dengan kematangan mentalitas; atau lebih malang lagi: PhD yang bahkan tidak memiliki keduanya -yang hanya lulus karena belas kasih dosen pembimbing dan juga kebijakan kampus yang takut kehilangan mahasiswa internasional sebagai salah satu sumber pemasukan terbesar.

Dua macam PhD ini memiliki kemiripan lain. PhD in Life mengajarkan saya sisi kehidupan yang belum pernah saya eksplorasi. Suatu proses yang dilakukan mungkin tanpa imbalan yang sepadan namun tetap memiliki tuntutan tinggi. Sama saja dengan PhD saya yang satunya, bahwa ketika saya berusaha sebaik-baiknya, saat ini saya masih saja khawatir menunggu berita perpanjangan beasiswa saya, sementara tuntutan akademik tidak akan pernah melunak.

Jika di PhD saya yang satunya saya dipanggil “G”, di PhD in Life ini saya kerap dipanggil dengan sebutan “that toilet guy”. Saya berasumsi bahwa nama panggilan itu disebabkan karena nama saya sulit dieja oleh orang-orang sini. Namun demikian panggilan saya di PhD in Life ini sangat deskriptif karena menggambarkan apa yang saya lakukan selama menekuni proses pembelajaran ini.

stylific cleanYa, saya membersihkan toilet di suatu kompleks perkantoran yang terletak di salah satu daerah tersibuk di Sydney. Pekerjaan saya mencakup serangkaian kegiatan mulai dari membersihkan sisa-sisa cipratan apa saja yang orang lemparkan ke toilet (dan seringnya meleset), mengganti cairan sabun tangan, mengganti tissue, hingga mengepel lantai. Terkadang saya juga harus membantu teman untuk mengepel koridor atau membuang sampah di ruang kantor jika saya masih punya sisa waktu.

Di PhD jenis ini saya banyak belajar, selain dari berbagai macam keilmuan yang sifatnya praktis seperti:  bagaimana cara mengepel yang benar, hingga hal-hal yang sifatnya lebih prinsipil, misalnya strategi membersihkan toilet yang hanya dalam hitungan beberapa menit. Sifat pekerjaan ini menghendaki kecepatan dan kualitas. Sama dengan PhD satunya yang lebih konvensional, namun anehnya dengan toleransi yang lebih tinggi terhadap kecepatan. Berapa persen di antara kita yang melakukan perpanjangan studi berulang-ulang? Jika dosen pembimbing Anda bisa memaafkan keterlambatan Anda, coba Anda melakukan hal yang sama dengan supervisor Anda di PhD ini? Beruntung, jika Anda tidak -minimal- yah dibentak-bentak.

Selain itu saya juga belajar bagaimana menjadi tegar dan berkepala dingin. Tidak jarang saya diteriak-teriaki oleh supervisor saya yang menegur saya ini-itu yang padahal bukan merupakan kesalahan saya. Seperti misalnya ketika senior meminta saya mengambil brush pada awal-awal training, dan saya agak bingung karena kita baru saja selesai menyikat sehingga mungkin yang dimaksud adalah mop. Lalu saya tanya ke dia, apakah yang dia maksud adalah mop, dia tetap ngotot dan bilang supaya saya tidak banyak menginterupsi. Setelah saya ambil brush, ternyata dia malah marah-marah dan menunjuk barang yang bagi saya -dan setelah saya cek di Google.com- adalah mop. Senior saya memang adalah seorang imigran yang menurut saya bahasa Inggris-nya kurang begitu jelas. Kebanyakan saya mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan hanya karena terkendala komunikasi. Hal yang tidak begitu saya rasakan ketika saya masih mengajar mahasiswa lokal di sini, dan akhirnya harus dihentikan atas saran dari dosen pembimbing saya.

Lain hari dia meminta saya untuk mengambilkan mitre. Saya hanya bengong, barang apa itu? Lalu saya tanya dia dengan perasaan was-was. Dia menatap saya dengan tatapan takjub, “Kamu sudah tiga tahun di sini tidak tahu mitre?!” Hardiknya.

Saya tersenyum kecut, mungkin disangkanya semua “imigran” sesampainya di Sydney langsung otomatis bekerja menjadi cleaner. Mendengar pertanyaannya, saya hanya bersabar dan meminta dia menjelaskan apa yang akan diperbuat dengan mitre ini. Akhirnya dia bilang bahwa dia akan memakainya untuk membersihkan kaca bagian atas.

“Do you mean you need something to make you taller… you knouw like high…high?” Sambil saya menggerakkan tangan saya ke atas. Kadang-kadang saya takut score IELTS saya jadi turun drastis gara-gara penggunaan Bahasa Inggris saya yang makin kacau.

Dia mengangguk, mungkin sambil membatin, akhirnya si idiot ini paham. Saya akhirnya tahu yang ia mau: tangga. Bahasa inggrisnya: ladder. Mitre ternyata adalah merk ladder yang ada di ruang penyimpanan barang-barang kami.

Ada lagi cerita lain di mana saya harus menggantikan seorang pegawai cleaner yang sedang cuti. Di sana sayang bekerja dengan seorang kebangsaan Bangladesh yang sudah puluhan tahun tinggal di Sydney. Usianya sekitar 50-an. Beliau ramah dan baik hati. Saya sangat menikmati bekerja dengan dia, meskipun sebenarnya agak kesulitan juga karena Bahasa Inggris dia sangat terbatas.

Seperti misalnya dia menjelaskan ada beberapa ruang yang saya harus “clean oke-oke” dan “clean good“. Mendengarnya pertama kali, saya geli sendiri -dan inilah alasan saya menyukai pekerjaan saya. Selalu ada hal yang membuat saya tergelitik. Lalu setelah saya bertanya, dia menjelaskan dengan panjang lebar. Akhirnya saya memahami bahwa “clean oke-oke” adalah istilahnya untuk membersihkan dengan cepat -jika tidak ada kotoran maka biarkan saja. Sedangkan “clean good” berarti harus dibersihkan semaksimal mungkin. Dia juga menambahkan jika “many many dirty” maka saya harus menggunakan cairan khusus.

Apapun yang saya hadapi, saya selalu tersenyum dan menganggap ini adalah lika-liku kehidupan. Suka dan duka adalah bumbu kehidupan. Kita senantiasa harus mengambil hal yang positif, membuang hal negatif, dan belajar dari yang terbaik. Mungkin inilah esensi dari  PhD in Life: bersikap positif, tersenyum, dan senantiasa belajar dari pengalaman hidup yang tidak selamanya sempurna.

Well, that’s life, now that you know it.

copas dari: http://stylificnow.com/2015/08/07/phd-in-life/

Total Pageviews