Latest Updates

Bangsa Ini Dibangun oleh Bapak-Bapak Bangsa yang Tidak Pendendam

Bangsa Ini Dibangun oleh Bapak-Bapak Bangsa yang Tidak  Pendendam
Bangsa Ini Dibangun oleh Bapak-Bapak Bangsa yang Tidak  Pendendam

Perhatikan komentar Buya Hamka atas pemenjaraan dirinya oleh Bung Karno, "Saya tidak pernah dendam kepada orang yang menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa semua itu merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan Kitab Tafsir Al-Qur’an 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan itu.”

Meskipun secara politik berseberangan, Soekarno tetap menghormati keulamaan Hamka. Menjelang wafatnya, Soekarno berpesan, “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku…”

Meskipun banyak yang tak setuju, Buya Hamka dengan ikhlas memenuhi wasiat Soekarno memimpin shalat jenazah tokoh yang pernah menjebloskannya ke penjara itu.

Bangsa ini dibangun oleh para negarawan yang tegas tapi santun ...

Karena kritiknya yang tegas pada Orde Baru, Mohammad Natsir bersama kelompok petisi 50 dicekal. Natsir dilarang untuk melakukan kunjungan luar negeri seperti mengikuti Konferensi Rabithah Alam Islami. Bahkan Natsir tidak mendapat izin untuk ke Malaysia menerima gelar doktor kehormatan dari Universiti Kebangsaan Malaysia dan Universiti Sains Pulau Pinang.

Di balik kritik yang ia lancarkan, ia tetap bersikap santun. Misalnya pada beberapa kali perayaan Idul Fitri, ia selalu saja hadir dalam acara silaturahmi di kediaman Soeharto di Cendana, meskipun keberadaannya seringkali tidak ditanggapi oleh Soeharto saat itu.

Bahkan bukan hanya bersikap santun, ia secara sadar juga turut membantu pemerintahan Orde Baru untuk kepentingan pemerintah sendiri. Misalnya, ia membantu mengontak pemerintah Kuwait agar dapat menanam modal di Indonesia dan meyakinkan pemerintah Jepang tentang kesungguhan Orde Baru membangun ekonomi.

Bangsa ini berdiri karena para founding fathers yang toleran dan penuh empati ...

Prawoto Mangkusasmito, Ketua Umum Masyumi setelah Mohammad Natsir, hidup sangat sederhana bahkan tak punya rumah. Ketua Umum Partai Katolik Indonesia, IJ Kasimo berinisiatif menginisiasi urunan untuk membelikan rumah bagi Prawoto.

Bangsa ini besar karena kesederhanaan pemimpinnya.

Bung Hatta pernah punya mimpi untuk membeli sepatu Bally. Dia menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya. Ia kemudian menabung, mengumpulkan uangnya sedikit demi sedikit agar bisa membeli sepatu idaman tersebut.

Namun, apa yang terjadi ?
Ternyata uang tabungan tidak pernah mencukupi untuk membeli sepatu Bally. Uang tabungannya terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu orang-orang yang datang kepadanya guna meminta pertolongan. Alhasil, keinginan Bung Hatta untuk membeli sepasang sepatu Bally tak pernah kesampaian hingga akhir hayatnya. Bahkan, yang lebih mengharukan, ternyata hingga wafat, guntingan iklan sepatu Bally tersebut masih tersimpan dengan baik.

Bangsa ini kokoh karena pemimpinnya menjunjung fairness ...

Ketika hubungan Soekarno dan Hatta merenggang, beberapa orang yang pro Soekarno tidak mencantumkan nama Hatta pada teks proklamasi. Soekarno dengan marah menegur, “Orang boleh benci pada seseorang ! Aku kadang-kadang saling gebug dengan Hatta !! Tapi menghilangkan Hatta dari teks proooklaamaasii, itu perbuatan pengecut !!!”.

Hari ini kita menentukan apakah bangsa ini jadi pemenang atau pengecut.

Jadi besar atau kerdil.

Jadi pemaaf atau pendendam.

Jadi penuh empati atau suka menghakimi.

Jadi penyebar damai atau penebar fitnah.

Yang akan menentukan masa depan bangsa ini bukan hanya siapa yang terpilih, tapi juga bagaimana sikap pendukungnya.

Bukan hanya menghargai siapa yang menang, tapi juga mengapresiasi mereka yang berjiwa besar menyikapi kekalahannya.

Saat-Saat Terakhir Bung Karno Setelah Terusir Dari Istana Negara.

Saat-Saat Terakhir Bung Karno Setelah Terusir Dari Istana Negara.
"Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.” (Soekarno, 1967)

Tak lama setelah mosi tidak percaya parlemen bentukan Nasution di tahun 1967 dam MPRS menunjuk Suharto sebagai Presiden RI, Bung Karno menerima surat untuk segera meninggalkan Istana dalam waktu 2 X 24 Jam.

Bung Karno tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya. Wajah-wajah tentara yang mengusir Bung Karno tidak bersahabat lagi. "Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang!".

Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu di ruang itu. "Mana kakak-kakakmu" kata Bung Karno. Guruh menoleh ke arah Bapaknya dan berkata "Mereka pergi ke rumah Ibu".

Rumah Ibu yang dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru. Bung Karno berkata lagi "Mas Guruh, Bapak tidak boleh lagi tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu, jangan kamu ambil lukisan atau hal lain, itu punya negara". Kata Bung Karno,

Bung Karno lalu melangkah ke arah ruang tamu Istana, disana ia mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang setia. Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan karena para ajudan bung karno sudah ditangkapi karena diduga terlibat Gestapu. "Aku sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun, Lukisan-lukisan itu, Souvenir dan macam-macam barang. Itu milik negara.

Semua ajudan menangis saat tau Bung Karno mau pergi "Kenapa bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan..." Salah satu ajudan separuh berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno.

"Kalian tau apa, kalau saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit jikalau perang dengan Belanda jelas hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak, wajahnya sama dengan wajahmu...keluarganya sama dengan keluargamu, lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara". tegas bung karno kepada ajudannya.

Tiba-tiba beberapa orang dari dapur berlarian saat mendengar Bung Karno mau meninggalkan Istana. "Pak kami memang tidak ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi, belum makan. Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agak enak dari biasanya".

Bung Karno tertawa "Ah, sudahlah sayur lodeh basi tiga itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya apa..."

Di hari kedua saat Bung Karno sedang membenahi baju-bajunya datang perwira suruhan Orde Baru. "Pak, Bapak harus segera meninggalkan tempat ini". Beberapa tentara sudah memasuki ruangan tamu dan menyebar sampai ke ruang makan.

Mereka juga berdiri di depan Bung Karno dengan senapan terhunus. Bung Karno segera mencari koran bekas di pojok kamar, dalam pikiran Bung Karno yang ia takutkan adalah bendera pusaka akan diambil oleh tentara.

Lalu dengan cepat Bung Karno membungkus bendera pusaka dengan koran bekas, ia masukkan ke dalam kaos oblong, Bung Karno berdiri sebentar menatap tentara-tentara itu, namun beberapa perwira mendorong tubuh Bung Karno untuk keluar kamar.

Sesaat ia melihat wajah Ajudannya Maulwi Saelan ( pengawal terakhir bung karno ) dan Bung Karno menoleh ke arah Saelan.

"Aku pergi dulu" kata Bung Karno dengan terburu-buru. "Bapak tidak berpakaian rapih dulu, Pak" Saelan separuh berteriak.

Bung Karno hanya mengibaskan tangannya. Bung Karno langsung naik VW Kodok, satu-satunya mobil pribadi yang ia punya dan meminta sopir diantarkan ke Jalan Sriwijaya, rumah Ibu Fatmawati.

Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan halaman, matanya kosong. Ia meminta bendera pusaka dirawat hati-hati. Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun-daun di halaman.

Kadang-kadang ia memegang dadanya yang sakit, ia sakit ginjal parah namun obat yang biasanya diberikan sudah tidak boleh diberikan. Sisa obat di Istana dibuangi.

Suatu saat Bung Karno mengajak ajudannya yang bernama Nitri gadis Bali untuk jalan-jalan. Saat melihat duku, Bung Karno kepengen duku tapi dia tidak punya uang. "Aku pengen duku, ...Tru, Sing Ngelah Pis, aku tidak punya uang" Nitri yang uangnya pas-pasan juga melihat ke dompetnya, ia merasa cukuplah buat beli duku sekilo.

Lalu Nitri mendatangi tukang duku dan berkata "Pak Bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil". Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke arah Bung Karno. "Mau pilih mana, Pak manis-manis nih " sahut tukang duku dengan logat betawi kental.

Bung Karno dengan tersenyum senang berkata "coba kamu cari yang enak". Tukang Duku itu mengernyitkan dahinya, ia merasa kenal dengan suara ini. Lantas tukang duku itu berteriak "Bapak...Bapak....Bapak...Itu Bapak...Bapaak" Tukang duku malah berlarian ke arah teman-temannya di pinggir jalan" Ada Pak Karno, Ada Pak Karno...." mereka berlarian ke arah mobil VW Kodok warna putih itu dan dengan serta merta para tukang buah memberikan buah-buah pada Bung Karno.

Awalnya Bung Karno tertawa senang, ia terbiasa menikmati dengan rakyatnya. Tapi keadaan berubah kontan dalam pikiran Bung Karno, ia takut rakyat yang tidak tau apa-apa ini lantas digelandang tentara gara-gara dekat dengan dirinya. "Tri, berangkat ....cepat" perintah Bung Karno dan ia melambaikan ke tangan rakyatnya yang terus menerus memanggil namanya bahkan ada yang sampai menitikkan air mata. Mereka tau pemimpinnya dalam keadaan susah.

Mengetahui bahwa Bung Karno sering keluar dari Jalan Sriwijaya, membuat beberapa perwira pro Suharto tidak suka. Tiba-tiba satu malam ada satu truk ke rumah Fatmawati dan mereka memindahkan Bung Karno ke Bogor. Di Bogor ia dirawat oleh Dokter Hewan!...

Tak lama setelah Bung Karno dipindahkan ke Bogor, datanglah Rachmawati, ia melihat ayahnya dan menangis keras-keras saat tau wajah ayahnya bengkak-bengkak dan sulit berdiri.

Saat melihat Rachmawati, Bung Karno berdiri lalu terhuyung dan jatuh. Ia merangkak dan memegang kursi. Rachmawati langsung teriak menangis.

Malamnya Rachmawati memohon pada Bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan dirawat keluarga. "Coba aku tulis surat permohonan kepada Presiden" kata Bung Karno dengan suara terbata. Dengan tangan gemetar Bung Karno menulis surat agar dirinya bisa dipindahkan ke Jakarta dan dekat dengan anak-anaknya.

Rachmawati adalah puteri Bung Karno yang paling nekat. Pagi-pagi setelah mengambil surat dari bapaknya, Rachma langsung ke Cendana rumah Suharto. Di Cendana ia ditemui Bu Tien yang kaget saat melihat Rachma ada di teras rumahnya.

"Lhol, Mbak Rachma ada apa?" tanya Bu Tien dengan nada kaget. Bu Tien memeluk Rachma, setelah itu Rachma bercerita tentang nasib bapaknya. Hati Bu Tien rada tersentuh dan menggenggam tangan Rachma lalu dengan menggenggam tangan Rachma bu Tien mengantarkan ke ruang kerja Pak Harto.

"Lho, Mbak Rachma..ada apa?" kata Pak Harto dengan nada santun. Rachma-pun menceritakan kondisi Bapaknya yang sangat tidak terawat di Bogor. Pak Harto berpikir sejenak dan kemudian menuliskan memo yang memerintahkan anak buahnya agar Bung Karno dibawa ke Djakarta. Diputuskan Bung Karno akan dirawar di Wisma Yaso.

Bung Karno lalu dibawa ke Wisma Yaso, tapi kali ini perlakuan tentara lebih keras. Bung Karno sama sekali tidak diperbolehkan keluar dari kamar. Seringkali ia dibentak bila akan melakukan sesuatu, suatu saat Bung Karno tanpa sengaja menemukan lembaran koran bekas bungkus sesuatu, koran itu langsung direbut dan ia dimarahi.

Kamar Bung Karno berantakan sekali, jorok dan bau. Memang ada yang merapikan tapi tidak serius. Dokter yang diperintahkan merawat Bung Karno, dokter Mahar Mardjono nyaris menangis karena sama sekali tidak ada obat-obatan yang bisa digunakan Bung Karno.

Ia tahu obat-obatan yang ada di laci Istana sudah dibuangi atas perintah seorang Perwira Tinggi. Mahar mardjono hanya bisa memberikan Vitamin dan Royal Jelly yang sesungguhnya hanya madu biasa. Jika sulit tidur Bung Karno diberi Valium, Sukarno sama sekali tidak diberikan obat untuk meredakan sakit akibat ginjalnya tidak berfungsi.
Banyak rumor beredar di masyarakat bahwa Bung Karno hidup sengsara di Wisma Yaso, beberapa orang diketahui diceritakan nekat membebaskan Bung Karno.

Bahkan ada satu pasukan khusus KKO dikabarkan sempat menembus penjagaan Bung Karno dan berhasil masuk ke dalam kamar Bung Karno, tapi Bung Karno menolak untuk ikut karena itu berarti akan memancing perang saudara.

Pada awal tahun 1970 Bung Karno datang ke rumah Fatmawati untuk menghadiri pernikahan Rachmawati. Bung Karno yang jalan saja susah datang ke rumah isterinya itu. Wajah Bung Karno bengkak-bengkak.

Ketika tau Bung Karno datang ke rumah Fatmawati, banyak orang langsung berbondong-bondong ke sana dan sesampainya di depan rumah mereka berteriak "Hidup Bung Karno....hidup Bung Karno....Hidup Bung Karno...!!!!!"

Sukarno yang reflek karena ia mengenal benar gegap gempita seperti ini, ia tertawa dan melambaikan tangan, tapi dengan kasar tentara menurunkan tangan Sukarno dan menggiringnya ke dalam. Bung Karno paham dia adalah tahanan politik.

Masuk ke bulan Februari penyakit Bung Karno parah sekali ia tidak kuat berdiri, tidur saja. Tidak boleh ada orang yang bisa masuk. Ia sering berteriak kesakitan. Biasanya penderita penyakit ginjal memang akan diikuti kondisi psikis yang kacau.

Ia berteriak " Sakit....Sakit ya Allah...Sakit..." tapi tentara pengawal diam saja karena diperintahkan begitu oleh komandan. Sampai-sampai ada satu tentara yang menangis mendengar teriakan Bung Karno di depan pintu kamar. Kepentingan politik tak bisa memendung rasa kemanusiaan, dan air mata adalah bahasa paling jelas dari rasa kemanusiaan itu.

Hatta yang dilapori kondisi Bung Karno menulis surat pada Suharto dan mengecam cara merawat Sukarno. Di rumahnya Hatta duduk di beranda sambil menangis sesenggukan, ia teringat sahabatnya itu. Lalu dia bicara pada isterinya Rachmi untuk bertemu dengan Bung Karno.

"Kakak tidak mungkin kesana, Bung Karno sudah jadi tahanan politik" ujar istri bung hatta.

Hatta menoleh pada isterinya dan berkata "Sukarno adalah orang terpenting dalam pikiranku, dia sahabatku, kami pernah dibesarkan dalam suasana yang sama agar negeri ini merdeka. Bila memang ada perbedaan diantara kami itu lumrah tapi aku tak tahan mendengar berita Sukarno disakiti seperti ini".

Hatta menulis surat dengan nada tegas kepada Suharto untuk bertemu Sukarno, ajaibnya surat Hatta langsung disetujui, ia diperbolehkan menjenguk Bung Karno.

Hatta datang sendirian ke kamar Bung Karno yang sudah hampir tidak sadar, tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal. Bung Karno membuka matanya. Hatta terdiam dan berkata pelan "Bagaimana kabarmu, No" kata Hatta ia tercekat mata Hatta sudah basah.

Bung Karno berkata pelan dan tangannya berusaha meraih lengan Hatta "Hoe gaat het met Jou?" kata Bung Karno dalam bahasa Belanda - Bagaimana pula kabarmu, Hatta - Hatta memegang lembut tangan Bung Karno dan mendekatkan wajahnya, air mata Hatta mengenai wajah Bung Karno dan Bung Karno menangis seperti anak kecil.

Dua proklamator bangsa ini menangis, di sebuah kamar yang bau dan jorok, kamar yang menjadi saksi ada dua orang yang memerdekakan bangsa ini di akhir hidupnya merasa tidak bahagia, suatu hubungan yang menyesakkan dada.

Tak lama setelah Hatta pulang, Bung Karno meninggal. Sama saat Proklamasi 1945 Bung Karno menunggui Hatta di kamar untuk segera membacai Proklamasi, saat kematiannya-pun Bung Karno juga seolah menunggu Hatta dulu, baru ia berangkat menemui Tuhan.

Cinta yang Menghidupkan

Cinta yang Menghidupkan
Kisah luar biasa
Silakan simak dan ambil hikmahnya: (kisah nyata di Beijing)

Kisah ini terjadi di Beijing China, seorang gadis bernama Yo Yi Mei memiliki cinta terpendam terhadap teman karibnya di masa sekolah. Namun ia tidak pernah mengungkapkannya, Ia hanya selalu menyimpan di dalam hati dan berharap temannya bisa mengetahuinya sendiri. Tapi sayang temannya tak pernah mengetahuinya, hanya menganggapnya sebagai sahabat, tak lebih.

Suatu hari Yo Yi Mei mendengar bahwa sahabatnya akan segera menikah hatinya sesak, tapi ia tersenyum “Aku harap kau bahagia“.
Sepanjang hari Yo Yi Mei bersedih, ia menjadi tidak ada semangat hidup, tapi dia selalu mendoakan kebahagiaan sahabatnya.

12 Juli 1994, sahabatnya memberikan contoh undangan pernikahannya yang akan segera dicetak kepada Yi mei, ia berharap Yi Mei akan datang, sahabatnya melihat Yi Mei yang menjadi sangat kurus & tidak ceria bertanya,“Apa yang terjadi dengamu, kau ada masalah?

Yi mei tersenyum semanis mungkin, ”Kau salah lihat, aku tak punya masalah apa apa, wah contoh undanganya bagus, tapi aku lebih setuju jika kau pilih warna merah muda, lebih lembut …” Ia mengomentari rencana undangan sahabatnya tesebut.

Sahabatnya tersenyum “Oh ya, ummm aku kan menggantinya, terimakasih atas sarannya Mei, aku harus pergi menemui calon istriku, hari ini kami ada rencana melihat lihat perabotan rumah … daag“. Yi Mei tersenyum, melambaikan tangan, hatinya yang sakit.

18 Juli 1994, Yi Mei terbaring di rumah sakit, Ia mengalami koma,Yi Mei mengidap kanker darah stadium akhir. Kecil harapan Yi Mei untuk hidup, semua organnya yang berfungsi hanya pendengaran, dan otaknya, yang lain bisa dikatakan “Mati“ dan semuanya memiliki alat bantu, hanya muzizat yang bisa menyembuhkannya.

Sahabatnya setiap hari menjenguknya, menunggunya, bahkan ia menunda pernikahannya. Baginya Yi Mei adalah tamu penting dalam pernikahannya. Keluaga Yi Mei sendiri setuju memberikan “Suntik Mati“ untuk Yi Mei karena tak tahan melihat penderitaan Yi Mei.

10 Desember 1994, Semua keluarga setuju besok 11 Desember 1994 Yi Mei akan disuntik mati dan semua sudah ikhlas, hanya sahabat Yi Mei yang mohon diberi kesempatan berbicara yang terakhir, sahabatnya menatap Yi Mei yang dulu selalu bersama.

Ia mendekat berbisik di telinga Yi Mei, “Mei apa kau ingat waktu kita mencari belalang, menangkap kupu kupu?... kau tahu, aku tak pernah lupa hal itu, dan apa kau ingat waktu di sekolah waktu kita dihukum bersama gara-gara kita datang terlambat, kita langganan kena hukum ya?“

“Apa kau ingat juga waktu aku mengejekmu, kau terjatuh di lumpur saat kau ikut lomba lari, kau marah dan mendorongku hingga aku pun kotor ?... Apakah kau ingat aku selalu mengerjakan PR di rumahmu? ... Aku tak pernah melupakan hal itu … “

“Mei, aku ingin kau sembuh, aku ingin kau bisa tersenyum seperti dulu, aku sangat suka lesung pipitmu yang manis, kau tega meninggalkan sahabatmu ini ?....” Tanpa sadar sahabat Yi Mei menangis, air matanya menetes membasahi wajah Yi Mei.

“Mei...kau tahu, kau sangat berarti untukku, aku tak setuju kau disuntik mati, rasanya aku ingin membawamu kabur dari rumah sakit ini, aku ingin kau hidup, kau tahu kenapa?... karena aku sangat mencintaimu, aku takut mengungkapkan padamu, takut kau menolakku“.

“Meskipun aku tahu kau tidak mencintaiku, aku tetap ingin kau hidup, Aku ingin kau hidup, Mei tolonglah, Dengarkan aku Mei … bangunlah …. !! “Sahabatnya menangis, ia menggengam kuat tangan Yi Mei“ Aku selalu berdoa Mei, aku harap Tuhan berikan keajaiban buatku, Yi Mei sembuh, sembuh total. Aku percaya, bahkan kau tahu?.. aku puasa agar doaku semakin didengar Tuhan“.

“Mei aku tak kuat besok melihat pemakamanmu, kau jahat ... !! kau sudah tak mencintaiku, sekarang kau mau pergi, aku sangat mencintaimu… aku menikah hanya ingin membuat dirimu tidak lagi dibayang-bayangi diriku sehingga kau bisa mencari pria yang selalu kau impikan, hanya itu Mei … “

“Seandainya saja kau bilang kau mencintaiku, aku akan membatalkan pernikahanku, aku tak peduli … tapi itu tak mungkin, kau bahkan mau pergi dariku sebagai sahabat“.

Sahabat Yi mei mengecup pelan dahi Yi Mei, ia berbisik, ”Aku sayang kamu, aku mencintaimu”, suaranya terdengar parau karena tangisan. Dan apa yang terjadi ?.... It's amazing !! ”CINTA“ bisa menyembuhkan segalanya.

7 jam setelah itu dokter menemukan tanda tanda kehidupan dalam diri Yi Mei, jari tangan Yi Mei bisa bergerak, jantungnya, paru parunya, organ tubuhnya bekerja. Sungguh sebuah keajaiban !! Pihak medis menghubungi keluarga Yi Mei dan memberitahukan keajaiban yang terjadi. Dan sebuah mujizat lagi … masa koma lewat, pada tgl.11 Des 1994.

14 Des 1994 Saat Yi Mei bisa membuka mata dan berbicara, sahabatnya ada disana, ia memeluk Yi Mei menangis bahagia, dokter sangat kagum akan keajaiban yang terjadi. “Aku senang kau bisa bangun, kau sahabatku terbaik“, sahabatnya memeluk erat Yi Mei.

Yi Mei tersenyum, "Kau yang memintaku bangun, kau bilang kau mencintaiku, tahukah kau aku selalu mendengar kata-kata itu, aku berpikir aku harus berjuang untuk hidup". "Lei, aku mohon jangan tinggalkan aku ya, aku sangat mencintaimu”, Lei memeluk Yi Mei “Aku sangat mencintaimu juga“.

17 Februari 1995 Yi Mei & Lei menikah, hidup bahagia dan sampai dengan saat ini pasangan ini memiliki 1 orang anak laki laki yang telah berusia 14 tahun. Kisah ini sempat menggemparkan Beijing.

Apa hikmah dari kisah ini? Cinta adalah keajaiban. Kekuatan Cinta...Ya itu yang banyak dibahas dibahas di internet.

dr. Lo Siauw Ging, Menjadi Cina Plus

dr. Lo Siauw Ging, Menjadi Cina Plus
Copas dari postingan Herry Tjahjono

"MENJADI CINA PLUS"
Mungkin sudah ada sahabat yang pernah mendengar kisah dr. Lo Siauw Ging di Solo. Dokter yang lebih mirip sebagai filantropis sejati dengan menggratiskan pasien2nya yang kebanyakan dari kalangan kurang mampu.
Tapi ada angle / sudut pandang lain yang bisa menawarkan sebutir mutiara kehidupan bagi siapapun yang hidup di negeri ini - khususnya sahabat yang kebetulan bersuku Cina.
Di usia senjanya, dr. Lo tetap berjuang sesuai nilai-nilai hidupnya yang mulia. Pada suatu kesempatan wawancara, ketika ditanya apakah ia tak mengalami kesulitan dengan cara kerjanya yang relatif serba melayani tanpa pamrih seperti itu - dia hanya menjawab lirih :
"Kesulitan itu pasti ada. Tapi dalam prakteknya kita tidak perlu takut. Seorang dokter tidak pernah sampai mati kelaparan, itu sudah pasti."
Sebuah bentuk keyakinan luarbiasa pada sosok sederhana itu.
Bahkan dalam sebuah penggalan hidupnya ketika praktek melayani di daerah Gunung Kidul dan ia tak penah dapat uang dari penduduk - ia tetap bisa makan dengan kenyang. Sebab para penduduk itu memberikan makanan pada dr. Lo. 
Kemanapun ia pergi, di desa manapun - pasti dikasih makan dan mendapat makanan. Itulah bagian dari "misteri penyelenggaraan Illahi" - yang diyakininya dengan teguh.
Ketika lulus SMA dan ingin sekolah kedokteran, ia diberi ijin oleh ayahnya - dengan tambahan pesan : " Kalau mau cari duit, jangan jadi dokter. Kalau cari duit, jadilah pedagang."
Pesan mutiara itulah yang akhirnya membentuk kemuliaan dr. Lo sebagai seorang dokter. Kita bisa membandingkan dengan sikap dan orientasi sebagian dokter yang ada di negeri kita - yang beberapa waktu lalu bahkan sempat dihebohkan soal praktek kolusi mereka dengan pabrikan farmasi. Dan tentu ujungnya, pasien yang dirugikan karena sering harus menebus obat yang mahal produksi perusahaan tertentu, sesuai yang dituliskan dalam resep oleh sang dokter. Sebuah gaya hidup yang bertolak belakang dan berhadapan secara diametral dengan sikap dan gaya hidup dr. Lo.
Dr. Lo hanya seorang dokter Cina "biasa", namun ia punya mutiara dalam dirinya - yang tidak selalu dimiliki oleh dokter lain. Filosofi cinta dr. Lo yang menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya : 
" Pernahkah kamu berpikir, memangnya kita bisa makan pakai cinta ? Tentu bisa, bahkan lebih. Jika kamu dicintai warga, niscaya hajat atau kebutuhan hidupmu senantiasa dijaga, dipelihara dan diperjuangkan. Dan kamu tak perlu memintanya untuk itu."
Bahkan seorang sahabat yang Muslim menjadi donatur dr. Lo.
Sungguh indah dan menggetarkan.
Menjadi Cina saja di negeri ini tidak cukup. Jika kita mencintai negeri ini, kita harus menjadi Cina plus. Itu soal pilihan. Dan dr. Lo telah memilih, yang dibuktikannya secara sempurna sebagai seorang "Cina plus" di negeri ini.
Negeri ini memerlukan sebanyak mungkin Cina plus, bukan hanya Cina oportunis yang bahkan tak segan jadi benalu bagi ibu pertiwi. Plus itu bukan kekayaan, tapi lebih pada nilai-nilai kemuliaan, keluhuran, kebaikan, dan lainnya.
Dr. Lo mungkin bukan dokter terbaik di negeri ini, tapi dia layak dimasukkan sebagai salah satu dokter termulia.

SEBAB PADA AKHIRNYA PERLU DISADARI : KITA TAK PERNAH MEMINTA DILAHIRKAN SEBAGAI CINA DI NEGERI INI.
MENJADI CINA DI NEGERI INI ADALAH TAKDIR.
MENJADI CINA BUKAN PILIHAN. MENJADI CINA PLUS, ITU PILIHAN.

PhD in Life


Sore hari itu, saat saya berpamitan dengan teman-teman di lab kampus, ada rasa yang berbeda tertinggal.  Sepuluh menit yang lalu, saya baru saja usai melakukan gladi resik untuk presentasi final dalam rangka kandidatur PhD saya di depan supervisor dan juga teman-teman saya satu lab. Presentasi berjalan cukup lancar meskipun menurut saya sebetulnya kualitasnya bisa lebih ditingkatkan lagi.  Saya juga mendapatkan banyak pertanyaan dan masukan yang konstruktif dari mereka yang hadir menonton gladi resik saya.

Minggu depan adalah hari penentuan, di mana saya akan berhadapan dengan board of panel dan mahasiswa PhD lain di School of Psychology universitas saya, mempresentasikan hasil penelitian yang telah saya jalani selama tiga tahun ini.

Saya melirik jam dinding di lab, pukul empat sore -dua jam lebih awal dari waktu biasa saya pulang. Saya beranjak dari tempat duduk menuju pintu lab. Saya tarik gagang pintu, melangkahkah satu kaki keluar, dan menoleh ke belakang. Rekan-rekan saya menatap saya dengan perasaan yang sukar untuk dilukiskan: ada rasa iba, kasihan, dan terharu. Satu kalimat terucap dari salah satu rekan lab saya, “Enjoy your day.”

Saya tersenyum geli. Biasanya mereka mengucapkan kata-kata standar, seperti “See you tomorrow” atau yang lainnya. Saya tahu mereka berusaha menyemangati saya dengan pekerjaan yang baru saya tekuni seminggu belakangan ini. A toilet guy.

“Hei, for all it’s worth, I am doing PhD …..in life,” ujar saya mencairkan suasana, dan teman-teman yang tadinya salah tingkah akhirnya tersenyum.


Kami telah banyak berdiskusi sebelumnya tentang betapa unik tantangan hidup saya karena selain berkutat dengan PhD -yang menurut versi mereka membutuhkan komitmen penuh-, saya masih harus dibebani dengan kerja sampingan, sebagai seorang cleaner pula. Bahwa seharusnya jalan hidup saya tidak mengenaskan seperti ini, harus banting tulang di sela-sela kesibukan saya belajar. Mereka berpendapat bahwa seharusnya ada suatu sistem yang menyokong kehidupan para calon ilmuwan ini agar mereka bisa lebih fokus dalam kegiatan penelitian -atau hal-hal lain yang yang lebih mengedepankan fungsi kognitif.

Well, life is not always what we want it to be.

Jika direnungkan lagi, apa yang salah dengan menjadi cleaner ketika kebetulan Anda juga adalah seorang mahasiswa PhD? Memang benar bahwa mahasiswa PhD adalah salah satu posisi terhormat. Jika Anda bertemu orang di jalan, dan mereka bertanya apa yang Anda lakukan, lalu Anda menjawab sedang menekuni PhD, mereka umumnya akan menganggap Anda cerdas. Apalagi jika Anda tengah menekuni PhD di bidang-bidang yang rumit, misalnya: nanoteknologi, dll, maka orang akan semakin angkat topi.

Tapi sesungguhnya menurut saya, tidak ada yang salah dengan menjadi cleaner. Hanya karena mereka membersihkan kotoran yang orang lain hasilkan, tidak menjadikan mereka lebih rendah derajatnya daripada orang lain. Jika tukang sampah di kompleks perumahan Anda cuti selama sebulan, maka bisa dipastikan Anda akan sangat merindukan dan berharap mereka kembali. Jika Anda menganggap derajat mereka lebih rendah daripada Anda, bagaimana bisa Anda  membutuhkan tukang sampah Anda, lebih daripada tukang sampah membutuhkan Anda?

Sesungguhnya, di Sydney paling tidak, orang lokal sangat menghargai pekerjaan cleaner. Tidak semua orang tahan melakukannya, dengan baik dan sangat komitmen maksud saya. Setiap kali saya menyelesaikan tugas saya, orang di sini selalu berterima kasih. Orang di sini juga hampir selalu menyapa kami dan menanyakan bagaimana kabar kami. Cleaner adalah suatu bentuk profesi, sama dengan pekerja kantoran, atau bahkan selebritis. Sama-sama memiliki ukuran kinerja dan tanggung jawab masing-masing. Perbedaan yang kita hadapi di jenis-jenis pekerjaan tidak menjadikan kita, sebagai manusia, lantas diperlakukan berbeda.

Ironisnya, bagaimana dengan mahasiswa PhD? Saya sering mendapatkan para mahasiswa PhD yang terhormat itu “memilih” untuk tidak menunaikan tuntutan akademik sehingga pada akhirnya harus memohon kebaikan hati dosen pembimbing untuk meluluskannya. Jika Anda seorang cleaner, dan memohon kebaikan hati supervisor untuk tidak melakukan tugas dengan baik, maka bisa dipastikan Anda dipecat saat itu juga.

Jadi mengapa pula kita memandang sebelah mata pada profesi seperti ini, jika kita sendiri menutup mata dengan ketidaksempurnaan yang selama ini kita perbuat?

Bagi saya menjadi cleaner adalah suatu pekerjaan yang saya pilih setelah melalui berkali-kali pemikiran dan proses pengambilan keputusan. Salah satunya adalah karena pilihan waktunya yang tidak bakal mengganggu kesibukan kuliah saya, karena biasanya jam kerja saya sore hingga menjelang tengah malam. Kebutuhan hidup yang tinggi di Sydney, menghendaki saya dan istri untuk berjibaku bertahan hidup. Selama halal dan tidak merugikan orang lain, juga memberikan keuntungan secara finansial bagi kami sekeluarga serta tidak mengganggu hal utama yang menjadi alasan saya dikirim ke sini, saya enggan pilih-pilih pekerjaan.

Bagi saya, toh, bekerja sebagai cleaner ini merupakan tantangan hidup yang harus saya lewati dalam rangka pencapaian gelar PhD (atau Doctor of Philosophy) in Cognitive Neuroscience. Dulu saya merasa bahwa PhD ini hanya satu tingkatan lebih tinggi ketimbang studi master. Namun ternyata saya salah besar. Karakteristik studi PhD ini tidak sekedar menuntut kami handal dari sisi akademik saja, namun juga sikap mental. Bagaimana kita melalui rintangan demi rintangan dengan hati lapang dan kepala dingin. Tingkat uncertainty yang tinggi dari studi PhD, ditambah lagi karakteristik belajar yang cenderung independent-learning, membuat para mahasiswa PhD dituntut untuk mendapatkan keterampilan akademik yang dibutuhkan dengan usaha mereka sendiri. Hal ini tidak mudah, seringnya menimbulkan depresi.

Bagaimana cara mereka bertahan dan juga berjuang untuk mendapatkan hasil adalah alasan mengapa mereka berhak menyandang gelar Doctor of Philosophy. Saya sulit membayangkan ada lulusan PhD yang pintar, namun tanpa disertai perubahan mentalitas, karena sesungguhnya keseluruhan proses kandidatur PhD ini diarahkan untuk mendidik mentalitas yang handal.

Life is not always what we want it to be. Setiap orang memiliki tantangan tersendiri dalam hidupnya. Kita mengambil keputusan sendiri, dan harapannya bisa mengambil buah pembelajaran dari proses tersebut. Sama halnya dengan studi PhD, saya merasakan banyak belajar dari profesi saya menjadi seorang cleaner. Sehingga pada akhirnya saya merasa bahwa keseluruhan rangkaian tantangan dalam hidup saya yang menggiring saya pada esensi Doctor of Philosophy yang sebenarnya, yaitu: PhD in Life

PhD in Life adalah jenis keilmuan yang sangat rumit -karena tidak ada panduan resmi, tidak ada rumus, bahkan kurikulum. Sama halnya dengan studi PhD konvensional, bahkan lebih rumit lagi, karena bidang ilmu ini memiliki tingkat uncertainty yang tinggi. Bahkan lebih mengerikan lagi, karena standar kelulusannya tidak jelas, jarang ada feedback, dan nyaris tanpa dosen pembimbing.

Di instansi di mana saya menimba PhD in Life ini, saya belajar tentang esensi sebuah kehidupan melalui suatu proses pengalaman dan refleksi. Sama halnya dengan ketika saya mencermati grafik di PhD saya yang satunya, dan mencoba mengartikan apa yang sebenarnya tengah terjadi. Sama-sama membutuhkan proses kognitif yang tinggi -namun tentu saja jika kita memilih melakukannya demikian. Kita bisa saja menekuni PhD, yang mana saja, dengan masa bodoh, dan jika beruntung kita lulus. Dengan demikian kita akan menjadi lulusan PhD yang hanya pintar tanpa dibarengi dengan kematangan mentalitas; atau lebih malang lagi: PhD yang bahkan tidak memiliki keduanya -yang hanya lulus karena belas kasih dosen pembimbing dan juga kebijakan kampus yang takut kehilangan mahasiswa internasional sebagai salah satu sumber pemasukan terbesar.

Dua macam PhD ini memiliki kemiripan lain. PhD in Life mengajarkan saya sisi kehidupan yang belum pernah saya eksplorasi. Suatu proses yang dilakukan mungkin tanpa imbalan yang sepadan namun tetap memiliki tuntutan tinggi. Sama saja dengan PhD saya yang satunya, bahwa ketika saya berusaha sebaik-baiknya, saat ini saya masih saja khawatir menunggu berita perpanjangan beasiswa saya, sementara tuntutan akademik tidak akan pernah melunak.

Jika di PhD saya yang satunya saya dipanggil “G”, di PhD in Life ini saya kerap dipanggil dengan sebutan “that toilet guy”. Saya berasumsi bahwa nama panggilan itu disebabkan karena nama saya sulit dieja oleh orang-orang sini. Namun demikian panggilan saya di PhD in Life ini sangat deskriptif karena menggambarkan apa yang saya lakukan selama menekuni proses pembelajaran ini.

stylific cleanYa, saya membersihkan toilet di suatu kompleks perkantoran yang terletak di salah satu daerah tersibuk di Sydney. Pekerjaan saya mencakup serangkaian kegiatan mulai dari membersihkan sisa-sisa cipratan apa saja yang orang lemparkan ke toilet (dan seringnya meleset), mengganti cairan sabun tangan, mengganti tissue, hingga mengepel lantai. Terkadang saya juga harus membantu teman untuk mengepel koridor atau membuang sampah di ruang kantor jika saya masih punya sisa waktu.

Di PhD jenis ini saya banyak belajar, selain dari berbagai macam keilmuan yang sifatnya praktis seperti:  bagaimana cara mengepel yang benar, hingga hal-hal yang sifatnya lebih prinsipil, misalnya strategi membersihkan toilet yang hanya dalam hitungan beberapa menit. Sifat pekerjaan ini menghendaki kecepatan dan kualitas. Sama dengan PhD satunya yang lebih konvensional, namun anehnya dengan toleransi yang lebih tinggi terhadap kecepatan. Berapa persen di antara kita yang melakukan perpanjangan studi berulang-ulang? Jika dosen pembimbing Anda bisa memaafkan keterlambatan Anda, coba Anda melakukan hal yang sama dengan supervisor Anda di PhD ini? Beruntung, jika Anda tidak -minimal- yah dibentak-bentak.

Selain itu saya juga belajar bagaimana menjadi tegar dan berkepala dingin. Tidak jarang saya diteriak-teriaki oleh supervisor saya yang menegur saya ini-itu yang padahal bukan merupakan kesalahan saya. Seperti misalnya ketika senior meminta saya mengambil brush pada awal-awal training, dan saya agak bingung karena kita baru saja selesai menyikat sehingga mungkin yang dimaksud adalah mop. Lalu saya tanya ke dia, apakah yang dia maksud adalah mop, dia tetap ngotot dan bilang supaya saya tidak banyak menginterupsi. Setelah saya ambil brush, ternyata dia malah marah-marah dan menunjuk barang yang bagi saya -dan setelah saya cek di Google.com- adalah mop. Senior saya memang adalah seorang imigran yang menurut saya bahasa Inggris-nya kurang begitu jelas. Kebanyakan saya mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan hanya karena terkendala komunikasi. Hal yang tidak begitu saya rasakan ketika saya masih mengajar mahasiswa lokal di sini, dan akhirnya harus dihentikan atas saran dari dosen pembimbing saya.

Lain hari dia meminta saya untuk mengambilkan mitre. Saya hanya bengong, barang apa itu? Lalu saya tanya dia dengan perasaan was-was. Dia menatap saya dengan tatapan takjub, “Kamu sudah tiga tahun di sini tidak tahu mitre?!” Hardiknya.

Saya tersenyum kecut, mungkin disangkanya semua “imigran” sesampainya di Sydney langsung otomatis bekerja menjadi cleaner. Mendengar pertanyaannya, saya hanya bersabar dan meminta dia menjelaskan apa yang akan diperbuat dengan mitre ini. Akhirnya dia bilang bahwa dia akan memakainya untuk membersihkan kaca bagian atas.

“Do you mean you need something to make you taller… you knouw like high…high?” Sambil saya menggerakkan tangan saya ke atas. Kadang-kadang saya takut score IELTS saya jadi turun drastis gara-gara penggunaan Bahasa Inggris saya yang makin kacau.

Dia mengangguk, mungkin sambil membatin, akhirnya si idiot ini paham. Saya akhirnya tahu yang ia mau: tangga. Bahasa inggrisnya: ladder. Mitre ternyata adalah merk ladder yang ada di ruang penyimpanan barang-barang kami.

Ada lagi cerita lain di mana saya harus menggantikan seorang pegawai cleaner yang sedang cuti. Di sana sayang bekerja dengan seorang kebangsaan Bangladesh yang sudah puluhan tahun tinggal di Sydney. Usianya sekitar 50-an. Beliau ramah dan baik hati. Saya sangat menikmati bekerja dengan dia, meskipun sebenarnya agak kesulitan juga karena Bahasa Inggris dia sangat terbatas.

Seperti misalnya dia menjelaskan ada beberapa ruang yang saya harus “clean oke-oke” dan “clean good“. Mendengarnya pertama kali, saya geli sendiri -dan inilah alasan saya menyukai pekerjaan saya. Selalu ada hal yang membuat saya tergelitik. Lalu setelah saya bertanya, dia menjelaskan dengan panjang lebar. Akhirnya saya memahami bahwa “clean oke-oke” adalah istilahnya untuk membersihkan dengan cepat -jika tidak ada kotoran maka biarkan saja. Sedangkan “clean good” berarti harus dibersihkan semaksimal mungkin. Dia juga menambahkan jika “many many dirty” maka saya harus menggunakan cairan khusus.

Apapun yang saya hadapi, saya selalu tersenyum dan menganggap ini adalah lika-liku kehidupan. Suka dan duka adalah bumbu kehidupan. Kita senantiasa harus mengambil hal yang positif, membuang hal negatif, dan belajar dari yang terbaik. Mungkin inilah esensi dari  PhD in Life: bersikap positif, tersenyum, dan senantiasa belajar dari pengalaman hidup yang tidak selamanya sempurna.

Well, that’s life, now that you know it.

copas dari: http://stylificnow.com/2015/08/07/phd-in-life/

Kisah Anak Durhaka dari Singapura

Sebuah Dekrit di keluarkan oleh Sang Perdana Menteri untuk melindungi nasib para orang tua dari anak-anak yang durhaka pada orang tuanya !

Sebuah Kisah Nyata dari Negeri tetangga Singapura beberapa dekade lalu yang cukup menghebohkan hingga Perdana Menteri saat itu, Lee Kwan Yew senior turun tangan dan mengeluarkan dekrit tentang orang lansia di Singapura.

Dikisahkan ada orang kaya raya di sana mantan Pengusaha sukses yang mengundurkan diri dari dinia bisnis ketika istrinya meninggal dunia. Jadilah ia single parent yang berusaha membesarkan dan mendidik dengan baik anak laki-laki satu-satunya hingga mampu mandiri dan menjadi seorang Sarjana.

Kemudian setelah anak tunggalnya tersebut menikah, ia minta ijin kepada ayahnya untuk tinggal bersama di Apartemen Ayahnya yang mewah dan besar. Dan ayahnya pun dengan senang hati mengijinkan anak menantunya tinggal bersama-sama dengannya. Terbayang dibenak orangtua tersebut bahwa apartemen nya yang luas dan mewah tersebut tidak akan sepi, terlebih jika ia mempunya cucu. Betapa bahagianya hati bapak tersebut bisa berkumpul dan membagi kebahagiaan dengan anak dan menantunya.

Pada mulanya terjadi komunikasi yang sangat baik antara Ayah-Anak-Menantu yang membuat Ayahnya yang sangat mencintai anak tunggalnya itu tersebut tanpa sedikitpun ragu-ragu mewariskankan seluruh harta kekayaan termasuk apartment yang mereka tinggali, dibaliknamakan ke anaknya itu melalui Notaris terkenal di sana.

Tahun-tahun berlalu, seperti biasa, masalah klasik dalam rumah tangga, jika anak menantu tinggal seatap dengan orang tua, entah sebab mengapa akhirnya pada suatu hari mereka bertengkar hebat yang pada akhirnya, anaknya tega mengusir sang Ayah keluar dari apartment mereka yang ia warisi dari Ayahnya.

Karena seluruh hartanya, Apartemen, Saham, Deposito, Emas dan uang tunai sudah diberikan kepada anaknya, maka mulai hari itu dia menjadi pengemis di Orchard Rd. Bayangkan, orang kaya mantan pebisnis yang cukup terkenal di Singapura tersebut, tiba-tiba menjadi pengemis!

Suatu hari, tanpa disengaja melintas mantan teman bisnisnya dulu dan memberikan sedekah, dia langsung mengenali si ayah ini dan menanyakan kepadanya, apakah ia teman bisnisnya dulu. Tentu saja, si ayah malu danmenjawab bukan, mungkin Anda salah orang, katanya. Akan tetapi temannya curiga dan yakin, bahwa orang tua yang mengemis di Orchad Road itu adalah temannya yang sudah beberapa lama tidak ada kabar beritanya. Kemudian, temannya ini mengabarkan hal ini kepada teman-temannya yang lain, dan mereka akhirnya bersama-sama mendatangi orang tersebut. Semua mantan sahabat karibnya tersebut langsung yakin bahwa pengemis tua itu adalah Mantan pebisnis kaya yang dulu mereka kenal.

Dihadapan para sahabatnya, si ayah dengan menangis tersedu-sedu, menceritakan semua kejadian yang sudah dialaminya. Maka, terjadilah kegemparan di sana, karena semua orangtua di sana merasa sangat marah terhadap anak yang sangat tidak bermoral itu.

Kegemparan berita tersebut akhirnya terdengar sampai ke telinga PM Lee Kwan Yew Senior.

PM Lee sangat marah dan langsung memanggil anak dan menantu durhaka tersebut. Mereka dimaki-maki dan dimarahi habis-habisan oleh PM Lee dan PM Lee mengatakan "Sungguh sangat memalukan bahwa di Singapura ada anak durhaka seperti kalian" .

Lalu PM Lee memanggil sang Notaris dan saat itu juga surat warisan itu dibatalkan demi hukum! Dan surat warisan yang sudah baliknama ke atas nama anaknya tersebut disobek-sobek oleh PM Lee. Sehingga semua harta milik yang sudah diwariskan tersebut kembali ke atas nama Ayahnya, bahkan sejal saat itu anak menantu itu dilarang masuk ke Apartment ayahnya.

Mr Lee Kwan Yew ini ternyata terkenal sebagai orang yang sangat berbakti kepada orangtuanya dan menghargai para lanjut usia (lansia). Sehingga, agar kejadian serupa tidak terulang lagi, Mr Lee mengeluarkan Kebijakan / Dekrit yaitu "Larangan kepada para orangtua untuk tidak mengwariskan harta bendanya kepada siapapun sebelum mereka meninggal. Kemudian, agar para lansia itu tetap dihormati dan dihargai hingga akhir hayatnya, maka dia buat Kebijakan berupa Dekrit lagi, yaitu agar semua Perusahaan Negara dan swasta di Singapura memberi pekerjaan kepada para lansia. Agar para lansia ini tidak tergantung kepada anak menantunya dan mempunyai penghasilan sendiri dan mereka sangat bangga bisa memberi angpao kepada cucu-cucunya dari hasil keringat mereka sendiri selama 1 tahun bekerja.

Anda tidak perlu heran jika Anda pergi ke Toilet di Changi Airport, Mall, Restaurant, Petugas cleaning service adalah para lansia. Jadi selain para lansia itu juga bahagia karena di usia tua mereka masih bisa bekerja, juga mereka bisa bersosialisasi dan sehat karena banyak bergerak. Satu lagi sebagaimana di negeri maju lainnya, PM Lee juga memberikan pendidikan sosial yang sangat bagus buat anak-anak dan remaja di sana, bahwa pekerjaan membersihkan toilet, meja makan diresto dsbnya itu bukan pekerjaan hina, sehingga anak-anak tsb dari kecil diajarkan untuk tahu menghargai orang yang lebih tua, siapapun mereka dan apapun profesinya.

Sebaliknya, Anak di sana dididik menjadi bijak dan terus memelihara rasa hormat dan sayang kepada orangtuanya, apapun kondisi orangtuanya.

Meskipun orangtua mereka sudah tidak sanggup duduk atau berdiri,atau mungkin sudah selamanya terbaring diatas tempat tidur, mereka harus tetap menghormatinya dengan cara merawatnya.

Mereka, warganegara Singapura seolah diingatkan oleh PM Lee agar selalu mengenang saat mereka masih balita, orangtua merekalah yang membersihkan tubuh mereka dari semua bentuk kotoran, juga yang memberi makan dan kadang menyuapinya dengan tangan mereka sendiri, dan menggendongnya kala mereka menangis meski dini hari dan merawatnya ketika mereka sakit.

Hormatilah, Kasihilah, Sayangilah orang tuamu selama mereka masih ada di sisimu ...

Inilah pesan mu terhadap anak-anak bangsamu, yang akan selalu kami Ingat sepanjang masa untuk kami dan anak-anak bangsa kami...

Note: Mohon share ini kepada teman-teman Anda agar menjadi pengingat kepada kita semua.

Disalin dari:
Komunitas AYAH EDY

**** Sumber: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10150507211786805&set=a.10150410526896805.346248.300530356804&type=3&theater

Belajar dari Lebah dan Lalat

Mengapa lebah cepat menemukan bunga?
Dan mengapa lalat bisa sangat cepat menemukan kotoran?

Mata lebah di desain hanya untuk menemukan bunga,
Mata lalat di desain khusus untuk menemukan kotoran.

MENGAPA DEMIKIAN?
Di dalam pikiran lebah hanya madu dan madu saja, tidak ada yang lain.
Sedangkan di dalam pikiran lalat, hanyalah kotoran dan kotoran saja, tidak ada yang lain.

Alhasil susah bagi lebah untuk menemukan kotoran, tapi mudah dan cepat bagi lebah untuk menemukan bunga di manapun.

Sebaliknya, susah bagi lalat untuk menemukan bunga, tapi mudah dan cepat bagi lalat untuk menemukan kotoran di manapun.

Apa hasil akhirnya?
Lebah kaya akan madu yang sangat bermanfaat, sedangkan lalat kaya akan kuman penyakit.

PESAN MORAL
Apa yang kita pikirkan akan menghasilkan apa yang kita lihat, dan apa yang kita lihat akan menghasilkan apa yang kita peroleh.

Hidupmu sangat tergantung dengan hati dan pikiran kita.

Kalau hati dan pikiran selalu negatif, maka apa saja yang kita lihat akan selalu menjadi negatif dan hasil akhirnya adalah sebuah kehidupan negatif yang penuh permasalahan.

Sebaliknya, kalau hati dan pikiran selalu positif, maka apa saja yang kita lihat akan selalu menjadi positif dan hasil akhirnya adalah kehidupan positif yang penuh kebahagiaan. Pilihan ada di tangan kita sendiri



Disalin dari postingan
Maria Emaculata Dewi
22 Maret 2015 ·

Total Pageviews